SYARAT SEBELUM SHALAT
Abu Syuja' berkata:
وشرائطُ الصلاة قبل الدخول فيها خمسة أشياء: طهارة الأعضاء من الحدث والنجس، وستر العورة بلباس طاهر، والوقوف على مكان طاهر، والعلم بدخول الوقت، واستقبال القبلة. ويجوز ترك القبلة في حالتين: في شدة الخوف وفي النافلة في السفر على الراحلة.
Cara membacanya:
Wa syaraa-ithush shalaati qablad dukhuuli fiihaa khamsatu asy-yaa-a: (1) thahaaratul a’dhaa-i minal hadatsi wan najasi, (2) wa satrul ‘aurati bi-libaasin thaahirin, (3) wal wuquufu ‘alaa makaanin thaahirin, (4) wal ‘ilmu bi dukhuulil waqti, (5) wastiqbaalul qiblati. Wa yajuuzu tarkul qiblati fii haalatayni: (1) fii syiddatil khawfi wa (2) fin naafilati fis safari ‘alar raahilati.
Artinya:
Syarat-syarat sebelum mengerjakan shalat ada lima, yaitu: (1) sucinya anggota tubuh dari hadats dan najis, (2) menutup aurat dengan pakaian yang suci, (3) berdiri di tempat yang suci, (4) mengetahui masuknya waktu shalat, dan (5) menghadap kiblat.
Boleh mengerjakan shalat tanpa menghadap kiblat dalam dua keadaan, yaitu: (1) ketika rasa takut luar biasa, dan (2) ketika mengerjakan shalat sunnah dalam perjalanan di atas kendaraan.
Penjelasan Prof. Dr. Mushthafa Dib al-Bugha (dengan sedikit peringkasan dan perubahan redaksi):
1. Sebelum shalat, anggota tubuh harus suci dari hadats, baik hadats kecil maupun hadats besar. Hal ini berdasarkan firman Allah ta’ala:
يَا أيُّهَا الَذينَ آمَنُوا إذَا قمْتُمْ إلى الصَلاةَ فَاغسْلوا وُجُوهكُمْ وأيْدَيَكُمْ إلَى المَرَافقِ وَامْسحوا بِرُؤوسكمْ وَأرجُلَكُمْ إلى الْكعبيْنِ وَإنْ كُنْتُمْ جُنباً فاطهرُوا
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah wajah dan tangan kalian sampai dengan siku, sapulah kepala kalian, dan basuhlah kaki kalian sampai dengan dua mata kaki. Jika kalian junub, maka mandilah.” (QS. Al-Maaidah [5]: 6)
2. Anggota tubuh juga harus suci dari najis. Hal ini ditunjukkan oleh perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk membasuh najis, seperti sabdanya kepada Fathimah binti Abi Hubaisy radhiyallahu ‘anha:
فَإذَا أقْبَلَتِ الحَيْضةُ فَاتْرُكي الصَلاةَ، فَإذَا ذَهَبَ قَدْرُهَا فَاغْسِلي عَنْكِ الدمَ وَصَلَي
Artinya: “Jika haidh menghampirimu, maka tinggalkanlah shalat. Jika hitungan harinya sudah berlalu, maka basuhlah darahnya dan kerjakanlah shalat.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Demikian juga ditunjukkan oleh hadits ‘Ali radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhari dan Muslim tentang membasuh madzi.
Ini juga diqiyaskan dengan dengan kesucian pakaian yang diperintahkan oleh Allah ta’ala melalui firman-Nya:
وثيابكَ فطَهرْ
Artinya: “Dan pakaianmu sucikanlah.” (QS. Al-Muddatstsir [74]: 5)
3. Dalil syarat menutup aurat dengan pakaian yang suci adalah firman Allah ta’ala:
خُذُوا زينَتَكُمْ عنْدَ كلً مسَجد
Artinya: “Pakailah pakaian kalian yang indah setiap memasuki masjid.” (QS. Al-A’raaf [7]: 31)
Ibn ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Maksudnya adalah pakaian ketika mengerjakan shalat.” (Mughni Al-Muhtaj: 1/184)
At-Tirmidzi (377) meriwayatkan dan menyatakan hasan sebuah hadits dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لا تُقبلُ صَلاةُ الحائِضِ إلا بِخمَار
Artinya: “Tidak diterima shalat perempuan yang telah haidh, kecuali dengan khimar.”
Perempuan yang telah haidh maksudnya perempuan yang baligh. Khimar adalah kain yang dapat menutupi kepala perempuan. Jika menutup kepala diwajibkan, maka menutup yang lainnya adalah lebih utama.
Adapun dalil yang menunjukkan pakaian tersebut harus suci adalah firman Allah ta’ala:
وثيابكَ فطَهرْ
Artinya: “Dan pakaianmu sucikanlah.” (QS. Al-Muddatstsir [74]: 5)
4. Tempat shalat harus suci. Hal ini ditunjukkan oleh perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menuangkan air ke tempat kencingnya orang Arab badui di masjid (HR. Al-Bukhari). Ia juga diqiyaskan dengan kesucian pakaian.
5. Wajibnya mengetahui masuknya waktu shalat didasarkan firman Allah ta’ala:
إن الصَّلاةَ كَانَتْ عَلى المُؤمنينَ كتَاباً مَوْقُوتاً
Artinya: “Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nisaa [4]: 103)
Karena shalat merupakan fardhu yang ditetapkan dengan waktu tertentu, maka wajib diketahui masuknya waktu shalat tersebut.
6. Shalat harus menghadap kiblat, berdasarkan firman Allah ta’ala:
قَد نَرَى تَقَلُبَ وَجْهِكَ في السَمَاءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قبْلَة تَرْضَاهَا فَوْل وَجْهَكَ شَطر المَسْجد الحَرَام
Artinya: “Sungguh Kami sering melihat wajahmu menengadah ke langit, maka Kami benar-benar akan memalingkanmu ke kiblat yang kamu sukai. Maka palingkanlah wajahmu ke arah masjidil haram.” (QS. Al-Baqarah [2]: 144)
Juga berdasarkan hadits riwayat Al-Bukhari (5897) dan Muslim (397), bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إذَا قُمْتَ إلى الصَلاةِ فَأسبغِ الْوُضُوءَ، ثم اسْتَقْبِل الْقِبلةَ فكبر
Artinya: “Jika engkau ingin mengerjakan shalat, maka sempurnakanlah wudhu, kemudian menghadaplah ke kiblat dan bertakbirlah.”
Masjidil haram pada ayat di atas, dan kiblat dalam hadits, maksudnya adalah Ka’bah.
7. Dalam keadaan takut luar biasa, seperti takut dalam keadaan perang dan lainnya, selama sebabnya mubah, seseorang boleh mengerjakan shalat dengan tidak menghadap kiblat. Dasarnya adalah firman Allah ta’ala:
فَإنْ خِفتمْ فَرِجَالاً أوْ رُكْبَانا
Artinya: “Jika kalian dalam keadaan takut, maka kerjakanlah shalat sambil berjalan atau berkendaraan.” (QS. Al-Baqarah [2]: 239)
Artinya, jika kalian tidak mungkin mengerjakan shalat dengan sempurna, maka kerjakanlah shalat sebisa kalian, entah itu dengan berjalan kaki atau berkendaraan.
Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Entah menghadap kiblat atau tidak.”
Nafi’ berkata: “Saya berpendapat bahwa Ibnu ‘Umar tidak akan mengucapkan hal itu kecuali berasal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Riwayat Al-Bukhari no. 4261)
8. Seseorang juga boleh mengerjakan shalat dengan tidak menghadap kiblat ketika mengerjakan shalat sunnah dalam perjalanan di atas kendaraan. Al-Bukhari (391) meriwayatkan dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, dia berkata:
كان رسولُ الله صلى الله عليه وسلم يصلي على رَاحِلَتِهِ حَيْثُ تَوَجتَهَت - وفي رواية: نَحوَ المَشرِقِ - فإذا أراد الفريضةَ، نزل فاستقبل القبلة
Artinya: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan shalat di atas kendaraannya sesuai dengan arah menghadapnya kendaraan itu –dalam riwayat lainnya, disebutkan ke arah timur–. Jika ingin menunaikan shalat fardhu, beliau turun dan menghadap kiblat.”
Dalam riwayat lain (1045), dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma:
كان يصلي في السفر ...
Artinya: “Beliau mengerjakan shalat dalam perjalanan...”
Wallahu a’lam bish shawab.
Abu Syuja' berkata:
وشرائطُ الصلاة قبل الدخول فيها خمسة أشياء: طهارة الأعضاء من الحدث والنجس، وستر العورة بلباس طاهر، والوقوف على مكان طاهر، والعلم بدخول الوقت، واستقبال القبلة. ويجوز ترك القبلة في حالتين: في شدة الخوف وفي النافلة في السفر على الراحلة.
Cara membacanya:
Wa syaraa-ithush shalaati qablad dukhuuli fiihaa khamsatu asy-yaa-a: (1) thahaaratul a’dhaa-i minal hadatsi wan najasi, (2) wa satrul ‘aurati bi-libaasin thaahirin, (3) wal wuquufu ‘alaa makaanin thaahirin, (4) wal ‘ilmu bi dukhuulil waqti, (5) wastiqbaalul qiblati. Wa yajuuzu tarkul qiblati fii haalatayni: (1) fii syiddatil khawfi wa (2) fin naafilati fis safari ‘alar raahilati.
Artinya:
Syarat-syarat sebelum mengerjakan shalat ada lima, yaitu: (1) sucinya anggota tubuh dari hadats dan najis, (2) menutup aurat dengan pakaian yang suci, (3) berdiri di tempat yang suci, (4) mengetahui masuknya waktu shalat, dan (5) menghadap kiblat.
Boleh mengerjakan shalat tanpa menghadap kiblat dalam dua keadaan, yaitu: (1) ketika rasa takut luar biasa, dan (2) ketika mengerjakan shalat sunnah dalam perjalanan di atas kendaraan.
Penjelasan Prof. Dr. Mushthafa Dib al-Bugha (dengan sedikit peringkasan dan perubahan redaksi):
1. Sebelum shalat, anggota tubuh harus suci dari hadats, baik hadats kecil maupun hadats besar. Hal ini berdasarkan firman Allah ta’ala:
يَا أيُّهَا الَذينَ آمَنُوا إذَا قمْتُمْ إلى الصَلاةَ فَاغسْلوا وُجُوهكُمْ وأيْدَيَكُمْ إلَى المَرَافقِ وَامْسحوا بِرُؤوسكمْ وَأرجُلَكُمْ إلى الْكعبيْنِ وَإنْ كُنْتُمْ جُنباً فاطهرُوا
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah wajah dan tangan kalian sampai dengan siku, sapulah kepala kalian, dan basuhlah kaki kalian sampai dengan dua mata kaki. Jika kalian junub, maka mandilah.” (QS. Al-Maaidah [5]: 6)
2. Anggota tubuh juga harus suci dari najis. Hal ini ditunjukkan oleh perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk membasuh najis, seperti sabdanya kepada Fathimah binti Abi Hubaisy radhiyallahu ‘anha:
فَإذَا أقْبَلَتِ الحَيْضةُ فَاتْرُكي الصَلاةَ، فَإذَا ذَهَبَ قَدْرُهَا فَاغْسِلي عَنْكِ الدمَ وَصَلَي
Artinya: “Jika haidh menghampirimu, maka tinggalkanlah shalat. Jika hitungan harinya sudah berlalu, maka basuhlah darahnya dan kerjakanlah shalat.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Demikian juga ditunjukkan oleh hadits ‘Ali radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhari dan Muslim tentang membasuh madzi.
Ini juga diqiyaskan dengan dengan kesucian pakaian yang diperintahkan oleh Allah ta’ala melalui firman-Nya:
وثيابكَ فطَهرْ
Artinya: “Dan pakaianmu sucikanlah.” (QS. Al-Muddatstsir [74]: 5)
3. Dalil syarat menutup aurat dengan pakaian yang suci adalah firman Allah ta’ala:
خُذُوا زينَتَكُمْ عنْدَ كلً مسَجد
Artinya: “Pakailah pakaian kalian yang indah setiap memasuki masjid.” (QS. Al-A’raaf [7]: 31)
Ibn ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Maksudnya adalah pakaian ketika mengerjakan shalat.” (Mughni Al-Muhtaj: 1/184)
At-Tirmidzi (377) meriwayatkan dan menyatakan hasan sebuah hadits dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لا تُقبلُ صَلاةُ الحائِضِ إلا بِخمَار
Artinya: “Tidak diterima shalat perempuan yang telah haidh, kecuali dengan khimar.”
Perempuan yang telah haidh maksudnya perempuan yang baligh. Khimar adalah kain yang dapat menutupi kepala perempuan. Jika menutup kepala diwajibkan, maka menutup yang lainnya adalah lebih utama.
Adapun dalil yang menunjukkan pakaian tersebut harus suci adalah firman Allah ta’ala:
وثيابكَ فطَهرْ
Artinya: “Dan pakaianmu sucikanlah.” (QS. Al-Muddatstsir [74]: 5)
4. Tempat shalat harus suci. Hal ini ditunjukkan oleh perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menuangkan air ke tempat kencingnya orang Arab badui di masjid (HR. Al-Bukhari). Ia juga diqiyaskan dengan kesucian pakaian.
5. Wajibnya mengetahui masuknya waktu shalat didasarkan firman Allah ta’ala:
إن الصَّلاةَ كَانَتْ عَلى المُؤمنينَ كتَاباً مَوْقُوتاً
Artinya: “Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nisaa [4]: 103)
Karena shalat merupakan fardhu yang ditetapkan dengan waktu tertentu, maka wajib diketahui masuknya waktu shalat tersebut.
6. Shalat harus menghadap kiblat, berdasarkan firman Allah ta’ala:
قَد نَرَى تَقَلُبَ وَجْهِكَ في السَمَاءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قبْلَة تَرْضَاهَا فَوْل وَجْهَكَ شَطر المَسْجد الحَرَام
Artinya: “Sungguh Kami sering melihat wajahmu menengadah ke langit, maka Kami benar-benar akan memalingkanmu ke kiblat yang kamu sukai. Maka palingkanlah wajahmu ke arah masjidil haram.” (QS. Al-Baqarah [2]: 144)
Juga berdasarkan hadits riwayat Al-Bukhari (5897) dan Muslim (397), bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إذَا قُمْتَ إلى الصَلاةِ فَأسبغِ الْوُضُوءَ، ثم اسْتَقْبِل الْقِبلةَ فكبر
Artinya: “Jika engkau ingin mengerjakan shalat, maka sempurnakanlah wudhu, kemudian menghadaplah ke kiblat dan bertakbirlah.”
Masjidil haram pada ayat di atas, dan kiblat dalam hadits, maksudnya adalah Ka’bah.
7. Dalam keadaan takut luar biasa, seperti takut dalam keadaan perang dan lainnya, selama sebabnya mubah, seseorang boleh mengerjakan shalat dengan tidak menghadap kiblat. Dasarnya adalah firman Allah ta’ala:
فَإنْ خِفتمْ فَرِجَالاً أوْ رُكْبَانا
Artinya: “Jika kalian dalam keadaan takut, maka kerjakanlah shalat sambil berjalan atau berkendaraan.” (QS. Al-Baqarah [2]: 239)
Artinya, jika kalian tidak mungkin mengerjakan shalat dengan sempurna, maka kerjakanlah shalat sebisa kalian, entah itu dengan berjalan kaki atau berkendaraan.
Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Entah menghadap kiblat atau tidak.”
Nafi’ berkata: “Saya berpendapat bahwa Ibnu ‘Umar tidak akan mengucapkan hal itu kecuali berasal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Riwayat Al-Bukhari no. 4261)
8. Seseorang juga boleh mengerjakan shalat dengan tidak menghadap kiblat ketika mengerjakan shalat sunnah dalam perjalanan di atas kendaraan. Al-Bukhari (391) meriwayatkan dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, dia berkata:
كان رسولُ الله صلى الله عليه وسلم يصلي على رَاحِلَتِهِ حَيْثُ تَوَجتَهَت - وفي رواية: نَحوَ المَشرِقِ - فإذا أراد الفريضةَ، نزل فاستقبل القبلة
Artinya: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan shalat di atas kendaraannya sesuai dengan arah menghadapnya kendaraan itu –dalam riwayat lainnya, disebutkan ke arah timur–. Jika ingin menunaikan shalat fardhu, beliau turun dan menghadap kiblat.”
Dalam riwayat lain (1045), dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma:
كان يصلي في السفر ...
Artinya: “Beliau mengerjakan shalat dalam perjalanan...”
Wallahu a’lam bish shawab.
SYARAT SEBELUM SHALAT
Reviewed by Unknown
on
November 09, 2017
Rating:
No comments: