SISI TERSEMBUNYI "NEGARANYA UMAT ISLAM TEMPO DOELOE"
Mengapa Masa Interregnum (Perpecahan) dalam Daulah Islam dulu Selalu Lebih Pendek dari Masa Interregnum di Negara-negara di Nusantara?
(Tulisan ini sudah diperbaiki, bagian dari naskah yang insyaallah terbit sebentar lagi)
=================================
Tahun 1632 M, Daulah Utsmaniyah mengalami kondisi yang mengguncang negara. Kopasus-nya negara, Jenissari (Inkisyariyah), memberontak. Bahkan pemberontakan tentara yang terkenal terkuat di dunia pada masanya itu sampai membunuh sadrazam (sejenis muawin tafwidh pada sistem pemerintahan yang disampaikan Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani dalam Ad-Daulah al-Islamiyah). Namun khalifah saat itu, Murad IV, segera mengambil tindakan tegas. Ia mengumumkan dekrit untuk mengembil kekuasaan penuh dengan dukungan dari Syaikhul Islam, para anggota Divan (kabinet), dan segenap angkatan bersenjata. Pemberontakan Jenissari itu pun berhasil ditumpas. Jenissari dibersihkan dari organ-organ yang mengganggu negara. Setelah itu, khalifah yang masih berusia 20 tahun tetapi visioner itu membangun ketertiban negara, serta menggaungkan jihad melawan negara Syiah, ke-shan-an Shafawiyah, di Persia. Pemerintahan Murad IV hanya berlanjut sampai 1640, saat sang khalifah meninggal dalam usia muda. Tapi ia dikenang sebagai Baghdad Fatihi (penakhluk Baghdad). Dikarenakan ia berhasil merebut Baghdad pada tahun 1638, ketika ia baru berusia 26 tahun. Ini menjadikannya seorang khalifah yang diakui pantas menjadi penerus leluhurnya, Muhammad II (Muhammad al Fatih), sang Kustantin Fatihi (penakhluk Konstantinopel). Murad IV juga diakui sebagai “pendiri kembali” dari Kekhalifahan Utsmaniyah. Ini karena saat pemberontakan Jenissari itu terjadi, negara hampir jatuh. Korupsi, kerusuhan, pemberontakan banyak terjadi. Namun saat Murad IV meninggal, ketertiban umum berhasil ditegakkan. Murad IV pun berhasil memenuhi pundi kas negara. Ia juga berhasil mengembalikan mentalitas masyarakat Utsmani. Dari suasana generasi IV (penikmat) kembali menjadi generasi I (perintis). Utsmaniyah yang telah terhuyung pun kembali menjadi raksasa yang menjadikan seluruh Eropa senantiasa memandangnya dengan rasa segan.
Kondisi ketidakstabilan negara tetapi kemudian bangkit kembali itu sebelumnya juga pernah terjadi. Para penguasa Utsmani yang mengembalikan suasana generasi IV (generasi penikmat peradaban, berdasar ulasan Ibnu Khaldun) menjadi generasi I (generasi perintis) itu di antaranya adalah Muhammad I (Mehmet Celebi, 1413-1421), serta Salim I (Yavus Selim Sultan, 1512 – 1520). Kondisi Utsmaniyah setelah Murad IV yang semacam itu juga dua kali terjadi. Yaitu di masa pemerintahan Mahmud I (1730-1754), yang mengembalikan stabilitas negara setelah pemberontakan Patrona Halil, serta Mahmud II (1808-1839), saat ia menggagalkan pemberontakan Jenissari tahun 1827 dan melakukan reformasi negara.
Sepanjang sejarah Utsmaniyah, hampir tak terjadi masa perpecahan. Ini karena tiap negara oleng, senantiasa muncul kebangkitan baru. Dan kalau kita lihat gambaran di atas, itu terjadi setiap sekitar 100 tahun. Masa ketika Utsmani benar-benar terpecah sebenarnya hanya terjadi pada tahun 1402 – 1413 M. Yaitu ketika para putra Sultan Bayazid I (ketika itu Utsmaniyah masih kesultanan, belum kekhilafahan) begitu kebingungan setelah negara mereka dikalahkan Timur Lenk dan ayah mereka tertawan. Akhirnya keempat putra itu pun memperebutkan tahta, yang akhirnya dimenangkan Mehmet Celebi tahun 1413. Setelah itu negara pulih kembali. Masa generasi II, sebagaimana layaknya generasi II umumnya, di bawah Murad II, dipenuhi pembangunan stabilitas dan pembangunan fisik. Dan generasi III akhirnya mempersembahkan kegemilangan paling super gilang gemilang dari sejarah Utsmaniyah, penakhlukan Konstantinopel tahun 1453, di bawah Muhammad Al Fatih, dalam usianya yang masih muds, 21 tahun.
Jika sejarah Utsmaniyah demikian, bagaimana pemerintahan-pemerintahan Islam sebelumnya?
Secara umum, umat Islam senantiasa berada dalam negara raksasa, yaitu khilafah Islam. Masa interregnum memang beberapa kali terjadi. Yaitu pada masa pemerintahan Imam Ali k.w, terjadi selama 5 tahun. Kemudian masa pemerintahan Abdullah bin Zubair, selama 9 tahun. Begitupun ketika Bani Umayah jatuh diganti Abbasiyah, tak sampai satu tahun. Begitu juga ketika Abbasiyah dilanda perang saudara antara kedua putra Khalifah Harun Ar-Rasyid, abad IX M, selama 5 tahun. Masa ketidakstabilan politik selama 9 tahun pasca pemerintahan Khalifah Al-Mutawakkil (abad X M). Begitu juga peralihan dari Abbasiyah ke Buwaih dan peralihan dari Buwaih ke Saljuk. Masing-masing tidak lebih dari 10 tahun.
Secara umum integrasi Abbasiyah pasca wafatnya Al-Mutawakkil memang tak sebagus Utsmani. Banyak pemerintahan provinsi yang akhirnya berkembang menjadi semi merdeka. Hanya memberikan loyalitas simbolis kepada khalifah dalam mata uang, doa khutbah Jum’at, dan beberapa tindakan simbolis lain. Ini mirip dengan Kanada dan Australia sekarang terhadap Ratu Elizabeth II. Namun bagaimanapun, gabungan antara pemerintahan khalifah dan sultan yang menjadi amirul umara’ (semacam muawin tafwidh), tetaplah merupakan sebuah wilayah yang besar, lebih besar dari Indonesia sekarang, dan berada dalam pemerintahan negara kuat.
Juga sebagaimana siklus kondisi negara sebagaimana dilukiskan Ibnu Khaldun, umumnya tiap kondisi negara berada dalam generasi IV (penikmat) atau generasi V (hancur-hancuran), umumnya segera kembali bangkit menjadi generasi I (perintis), kemudian generasi II (pembangun) dan generasi III (penjaga tradisi). Selalu begitu sehingga secara umum terjadinya suasana interregnum di wilayah negara tidak menjadi kondisi mayoritas wilayah dan hanya tejadi dalam waktu yang tidak lama. Sebaliknya, dalam wilayah mayoritas dan dalam waktu yang lama, yang terjadi adalah kegemilangan peradaban Islam.
Ciri khas yang terjadi dalam peradaban Islam secara umum: tiap 100 tahun sampai 120 tahun, terjadi kebangkitan.
Gambaran di atas menurut saya begitu menarik. Terutama jika dibandingkan dengan pemerintahan-pemerintahan di tlatah Nuswantara yang kita tinggali ini.
Pemerintahan Airlangga di Kahuripan (1009 – 1042) dilanjutkan interregnum selama 50 tahun. Ini karena kedua dinasti Airlangga yang memerintah Jenggala dan Kediri tak mau rukun. Setelah itu Kediri menang dan memerintah sekitar 80 tahun. Dilanjutkan pemerintahan Singasari (1222-1292, 70 tahun). Singasari memang bukan interregnum. Namun kita tahu, sejarah Singasari adalah sejarah negara yang kurang stabil. Penuh pemberontakan. Selanjutnya muncul negara yang dikenal sebagai “sehebat-hebatnya kerajaan di Nusantara”, yaitu Majapahit. Muncul tahun 1293, melesat, kemudian mengalami Perang Paregreg yang berakhir tahun 1406 M. Wilayah Majapahit setelah itu sampai tahun 1478 M, berada dalam posisi interregnum. Saling berebut kekuasaan antar sesama Brawijaya. Kubu-kuibuan antara beberapa sub dinasti yang terus-menerus. Berikutnya Demak memerintah tahun 1475 – 1556. Setelah itu muncul interregnum. Banten, Cirebon, Jepara, dan berbagai wilayah di jawa Timur tak mau mengakui kekuasaan Pajang. Selanjutnya muncul Mataram, yang usianya cukup panjang, dari 1584 – 1703. Setelah itu muncul interregnum. Sampai terjadi Perjanjian Giyanti, yang bukan menyatukan negara tetapi menjadikan perpecahan itu benar-benar formal, menjadi Kasunanan Solo dan Kasultanan Jogja. Setelah itu muncul VOC memimpin Nusantara. Secara umum masa ini hanyalah persekutuan, bukan persatuan. Selanjutnya pemerintahan Belanda. Nusantara bersatu di bawah pemerintahan Belanda secara langsung juga hanya tak sampai 50 tahun.
Pemerintahan Airlangga di Kahuripan (1009 – 1042) dilanjutkan interregnum selama 50 tahun. Ini karena kedua dinasti Airlangga yang memerintah Jenggala dan Kediri tak mau rukun. Setelah itu Kediri menang dan memerintah sekitar 80 tahun. Dilanjutkan pemerintahan Singasari (1222-1292, 70 tahun). Singasari memang bukan interregnum. Namun kita tahu, sejarah Singasari adalah sejarah negara yang kurang stabil. Penuh pemberontakan. Selanjutnya muncul negara yang dikenal sebagai “sehebat-hebatnya kerajaan di Nusantara”, yaitu Majapahit. Muncul tahun 1293, melesat, kemudian mengalami Perang Paregreg yang berakhir tahun 1406 M. Wilayah Majapahit setelah itu sampai tahun 1478 M, berada dalam posisi interregnum. Saling berebut kekuasaan antar sesama Brawijaya. Kubu-kuibuan antara beberapa sub dinasti yang terus-menerus. Berikutnya Demak memerintah tahun 1475 – 1556. Setelah itu muncul interregnum. Banten, Cirebon, Jepara, dan berbagai wilayah di jawa Timur tak mau mengakui kekuasaan Pajang. Selanjutnya muncul Mataram, yang usianya cukup panjang, dari 1584 – 1703. Setelah itu muncul interregnum. Sampai terjadi Perjanjian Giyanti, yang bukan menyatukan negara tetapi menjadikan perpecahan itu benar-benar formal, menjadi Kasunanan Solo dan Kasultanan Jogja. Setelah itu muncul VOC memimpin Nusantara. Secara umum masa ini hanyalah persekutuan, bukan persatuan. Selanjutnya pemerintahan Belanda. Nusantara bersatu di bawah pemerintahan Belanda secara langsung juga hanya tak sampai 50 tahun.
Secara umum, yang terjadi di masa pemerintahan Utsmani dan pemerintahan Islam sebelumnya, tiap 4 generasi, muncul kebangkitan baru. Sementara di Nusantara, setelah 3-4 generasi muncul interregnum selama 2-3 generasi. Baru setelah itu muncul kebangkitan baru. Secara umum, wilayah yang berhasil dihimpun juga lebih sedikit, serta peradaban yang dibangun juga lebih rendah.
Pertanyaan terkait semua perbedaan itu bagi saya hanya satu: M E N G A P A ?
Pertanyaan terkait semua perbedaan itu bagi saya hanya satu: M E N G A P A ?
Kalau kita cermati sejarah Utsmani dan Abbasiyah, sebenarnya gampang sekali kita pahami sebabnya.
Pertama, ada sesuatu yang diemban negara khilafah Utsmaniyah, yaitu Islam. Kondisi “adanya yang diemban” menyebabkan tiap terjadi penurunan menimbulkan suara-suara kebangkitan kembali. Ini nampak sikap Murad IV dan Salim I. Faktor ideologis, itulah istilah yang biasa kita gunakan untuk mengomentari hal demikian. Sementara, negara-negara di Nusantara kebingungan harus bagaimana. Mereka tetap “khusyu” menjalani segala keributan yang ada, sampai mereka benar-benar lempoh, pating pecothot, dan pabalatak, baru kemudian kepikiran untuk bangkit.
Kedua, adanya tuntunan yang jelas tentang apa yang harus dilakukan untuk menyelesaikan masalah. Islam, sebagai agama sekaligus sebagai ideologi, tak kurang pedoman bagaimana mengatasi hal ini. Banyak pakar-pakar dalam Islam yang memberikan ijtihad penanganan masalah, seperti Imam Mazhab yang empat. Penulis masalah khusus juga banyak, sebagaimana Imam al-Mawardi dan Ibnu Taimiyah menulis .kitab-kitab siyasi (politik). Sementara Al-Qadhi Abu Yusuf menulis kitab iqtishadi (ekonomi), yaitu Al-Amwal. Sementara di tlatah Nuswantoro, rujukan akan hal itu masih demikian minim.
Ketiga, kondisi alam di Nusantara yang begitu subur dan kaya menjadikan semuanya serba gampang. Sampai dipaparkan oleh Alfred Walace, di jaman penjajahan Belanda pun orang Jawa cari makan tetap gampang. Dalam bahasa Koes Plus, tongkat kayu ditanam jadi tanaman (singkong maksudnya). Kondisi ini menjadikan nenek moyang kita tak segera berhasil mengatasi masalah politik dan kenegaraan sungguhpun kondisi sudah begitu parahnya.
Analisis akan faktor pertama dan kedua, saya gali dari guru saya di zaman modern, Al-Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, dalam Kitab Nizhamul Islam, terbitan Hizbut Tahrir. Analisis akan faktor ketiga saya gali dari uraian “guru” saya di zaman klasik, Al-Allamah Abdurrahman Ibnu Khaldun, dalam kitabnya Muqaddimah. Faktor pertama dan kedua terkait pola pikir. Faktor ketiga terkait pola sikap. Keduanya diurai secara gamblang dalam kitab Fikrul Islam karya Muhammad M. Ismail.
Karena itu…, mumpung sekarang bangsa Indonesia mau bergeser dari generasi III ke generasi IV, kalau ingin bangkit, kiranya perlu melakukan 3 hal.
Pertama, kembali ke dalam pemikiran yang berbasis Islam secara menyeluruh, akui segala hal secara apa adanya. Jangan malah Islam disesuaikan dengan sifat “dimanjakan alam” dari bangsa Indonesia.
Kedua, memahami segala solusi Islam dalam menemukan masalah. Semuanya. Ipoleksosbudhankam. Seharusnya pihak-pihak yang mencoba memberi bantuan solusi yang begitu brilian ini didengar pendapatnya. Bukan malah ditembak dengan ajian UU Ormas. Lha wong perhatian kok malah dibalang.
Ketiga, menjadikan suasana kepepet dalam masa modern ini justru sebagai peluang. Mumpung kita juga sudah merasakan suasana kepepet sebagaimana bangsa-bangsa sub tropis di masa lalu, yang senantiasa tertantang menyelesaikan masalah.
Terserah bagaimana bangsa ini mau memilih. Mau menirukan keberhasilan khilafah Islam di masa lalu, atau terus tak sadar masalah karena merasa dimanjakan alam (padahal sekarang tidak begitu lagi)?
--Semarang, 20 Juli 2017, direview kembali tgl. 29 Oktober 2017--
SISI TERSEMBUNYI "NEGARANYA UMAT ISLAM TEMPO DOELOE"
Reviewed by Smd
on
November 03, 2017
Rating:
No comments: