Ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Mayoritas ulama, termasuk Imam Malik, Asy-Syafi’i dan Abu Hanifah menyatakan siku termasuk bagian tangan yang wajib dibasuh saat wudhu. Sedangkan ulama Zhahiri, sebagian pengikut Imam Malik, dan Imam Ath-Thabari menyatakan siku tidak wajib dibasuh.
Mengapa terjadi perbedaan pendapat, padahal ayat yang mereka rujuk sama, yaitu firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam surah Al-Maaidah ayat 6:
وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِق
Artinya: “Dan tangan-tangan kalian hingga ke siku.”
Ternyata, walaupun ayatnya sama, cara mereka memahami ayat ini berbeda.
Pertama, tentang lafazh إِلَى, orang Arab kadang menggunakannya dengan maksud ghayah (tujuan). Bagi yang memahami seperti ini, mereka menyatakan siku tidak wajib dibasuh, karena siku hanya tujuan, tidak masuk bagian tangan yang wajib dibasuh, sehingga membasuhnya cukup sampai mendekati siku.
Kadang lafazh إِلَى, digunakan dengan makna ma’a (bersama/beserta). Artinya, tangan wajib dibasuh beserta dengan siku. Tidak sah wudhu, jika membasuh tangan tidak sampai siku.
Kedua, tentang batasan kata yad (tangan) dalam perkataan orang Arab. Kadang orang Arab memaksudkan kata “yad” hanya untuk telapak tangan. Kadang untuk telapak tangan dan lengan bawah. Kadang juga untuk telapak tangan, lengan bawah, dan lengan atas.
Bagi yang memahami “yad” itu sampai lengan atas, maka bagi mereka siku wajib dibasuh. Sedangkan yang tidak memahami “yad” sampai lengan atas, berarti siku tidak termasuk bagian tangan yang wajib dibasuh.
(Bahasan di atas bisa dibaca di Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Kitab “Al-Wudhu”, Bab “Ma’rifah A’maal Al-Wudhu”, Mas’alah Ke-5)
Pelajaran dari bahasan ini:
1. Banyak perbedaan pendapat dalam fiqih Islam yang tidak lahir dari perbedaan dalil yang digunakan, namun dari perbedaan memahami kandungan dari dalil yang sama.
Contohnya adalah pada bab ini. Ayat yang djadikan dalil oleh semua madzhab sama, namun kesimpulan hukum yang mereka ambil dari ayat tersebut ternyata berbeda.
Mengapa bisa begitu? Para ulama menjelaskan, bahwa hal itu memang wajar terjadi, karena nash-nash syariah membuka kesempatan untuk itu. Dari sisi bahasa Arab, sebagian lafazh itu mengandung makna yang beragam (musytarak), sehingga bisa disimpulkan secara beragam. Belum lagi, berbagai kaidah kebahasaan yang diperselisihkan oleh para ulama, meniscayakan mereka berbeda memahami makna ayat yang berbahasa Arab tersebut.
2. Dengan mengetahui keniscayaan terjadinya ikhtilaf dalam banyak sekali bahasan fiqih Islam, kita bisa bersikap lebih terbuka dan toleran terhadap pendapat yang berbeda dari yang kita ikuti.
Kita memang tidak harus mengubah pendapat yang sudah kita ikuti, terlebih jika kita sendiri tak tahu pendapat mana yang lebih kuat. Namun, minimal, kita tak akan bersikap keras terhadap pendapat yang berbeda. Kita akan mampu bersikap lembut terhadap pendapat yang berbeda, sejak dari pikiran, hingga ke lisan dan anggota badan.
Jika kita bisa membangun sikap ini, kita layak berharap, tak ada lagi pertikaian antar umat Islam hanya karena perbedaan pendapat ijtihadiyah.
Wallahu a’lam bish shawab.
APAKAH SIKU WAJIB DIBASUH DALAM WUDHU?
Reviewed by Unknown
on
October 31, 2017
Rating:
No comments: